1527–1813
Bendera |
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya |
Ibu kota : Surosowan, Kota Intan
Bahasa : Jawa, Melayu, Arab, Sunda
Agama : Islam
Pemerintahan : Kesultanan
Sultan
- 1552 – 15701 : Maulana Hasanuddin
- 1651 – 1683 : Ageng Tirtayasa
Sejarah
- 1527 : Serangan atas Kerajaan Sunda
- 1813 : Ameksasi oleh Hindia-Belanda
- 1527 – 1552 : Sebagai bawahan Demak
Kesultanan Banten
merupakan sebuah kerajaan Islam
yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia.
Berawal sekitar tahun 1526,
ketika Kerajaan
Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa,
dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai
pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana
Hasanuddin, putera Sunan
Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut, dan mendirikan
benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan kemudian
hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan
bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari
Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan
persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan,
serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan
Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada
tahun 1813
setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan
dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak
lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan
awal
Dalam
Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, dan berita Cina, orang
menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Sebutan ini
setidak-tidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber Cina yang
berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430,
memberitakan bahwa Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa
rute pelayaran yang dibuat Mao’Kun pada sekitar tahun 1421. Rute
pelayaran itu adalah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak;
Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan
(1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan
Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Ma
Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
De
Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng
logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726 |
Dalam catatan orang Eropa yang berasal dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik karena terletak di sebuah teluk dan muara sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis makanan lainnya.
Selain
dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita
Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat
yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten
Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang
nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada
pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai pelabuhan dagang saja, melainkan
juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten
didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi.
Kekuatan politik yang merintis beridirnya Kesultanan Banten terdiri atas tiga
kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri dengan Sunan Gunung
Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten.
Kekuatan
kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para pedagang muslim, baik para
pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya.
Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi
di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong kantong permukiman
orang-orang muslim.
Masalahnya
sekarang adalah siapakah yang mendirikan Kesultanan Banten? Pertanyaan ini
perlu dikemukakan mengingat sampai saat ini masih terdapat dua versi. Versi
pertama yang mendirikan Kesultanan Banten adalah Maulana Hasanudin dan versi
kedua menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri Kesultanan Banten
bersamaan dengan Kesultanan Cirebon.
Menurut
pendapat pertama, Pangeran Hasanudin atas petunjuk ayahnya, Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati), mendirikan Kota Surosowan sebagai ibukota kerajaan.
Setelah kota itu selesai dibangun, Maulana Hasanudin kemudian diangkat sebagai
penguasa pertama Banten, yang pada waktu itu belum berdaulat karena masih
berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Sunda. Pendapat ini didasarkan pada
sebuah teks yang berbunyi :
Pada
waktu itu di Banten sedang timbul huru hara yang disebabkan oleh
Pangeran
Sabakingkin, putera Susuhunan Jatipurba dengan para
pengikutnya
… orang-orang muslim dan para muridnya, bertambahtambah
dengan
kedatangan angkatan bersenjata Demak dan Cirebon
yang
telah berlabuh di Pelabuhan Banten, kemudian menyerang dan
memukul
… angkatan bersenjata Budha-prawa. Adipati Banten dan
para
pengikutnya melarikan diri masuk ke hutan belantara menuju ke
arah
tenggara ke kota besar Pakuan Pajajaran. Setelah itu dinobatkanlah
Pangeran
Sabakingkin di Negeri Banten dengan gelar Pangeran
Hasanudin
oleh ayahnya dipertuan bagi seluruh Daerah Sunda yang
berpusat
di Paserbumi yaitu negeri Cirebon atau Carage …”
Menurut
pendapat pertama ini, pengangkatan Maulana Hasanudin sebagai penguasa Banten
terjadi tahun 1552, tepat ketika usianya menginjak 27 tahun.
Pendapat
ini ditolak oleh Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa pendiri Kerajaan
Banten bukanlah Maulana Hasanudin, melainkan Sunan Gunung Jati. Selain
mendirikan Kerajaan Banten, ia pun mendirikan Kerajaan Cirebon. Sunan Gunung
Jati merupakan orang yang mengangkat anaknya, Maulana Hasanudin, sebagai Raja
Banten Ke-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada mulanya Banten
merupakan tempat kedudukan Sunan Gunung Jati selaku raja dan Cirebon dikatakan
sebagai mandalanya. Ketika Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, Banten
seolah-olah hanya menjadi suatu kabupatian saja atau seolah-olah hanya
merupakan bagian dari Kerajaan Cirebon. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati
membawahi Banten dan Cirebon sekaligus.
Dalam
sumber tradisional, penguasa Banten Girang yang bernama Pucuk Umun putra Prabu
Seda berhasil ditaklukan oleh Syeh Nurullah (Sunan Gunung Jati). Dengan
penaklukan itu, Syeh Nurullah menjadi penguasa baru di Banten dan telah
meletakkan dasar Kerajaan Banten sehingga ia bisa dianggap sebagai pendiri
Kerajaan Banten.
Suksesi
kekuasaan di Banten pertama kali terjadi sekitar tahun 1552 yang diawali oleh
peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana, Sultan Demak Ke-3, dalam serangan Demak
ke Panarukan tahun 1546. Peristiwa ini berdampak pada melemahnya pengawasan
Demak atas Banten. Peristiwa lain yang mendorong terjadinya suksesi di Banten
adalah wafatnya Pangeran Pasarean pada 1552. Ia merupakan putera Sunan Gunung
Jati yang dipercaya memegang tahta Cirebon mewakili dirinya. Pada tahun itu
juga, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon dan seiring dengan itu, Sunan Gunung
Jati menyerahkan tahta Banten kepada Hasanudin, puteranya dari hasil perkawinan
dengan Nyai Kawunganten, puteri Pajajaran.
Meskipun
Sunan Gunung Jati dapat dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten, tetapi
Pangeran Hasanuddin merupakan orang pertama yang menyusun kekuatan dan
kekuasaan Banten sebagai negara yang berdiri sendiri. Pangeran Hasanudin-lah
yang memerdekan Banten dari Demak sehingga menjadi kerajaan yang merdeka.
Sementara pada masa Sunan Gunung Jati (1525-1552), Banten merupakan kerajaan vazal
Kesultanan Demak.
Kemudian dipicu oleh adanya Kerjasama Sunda-Portugal dalam
bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan
Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas
perintah
Trenggana, bersama dengan Fatahillah
melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar
tahun1527, yang
waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten,
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil
lada di
Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut,
selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu
(Minangkabau, Kerajaan Inderapura) dan
dianugerahi keris oleh
raja tersebut (Sultan
Munawar Syah).
Maulana
Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten.
Maulana Hasanudin merupakan orang yang membangun Keraton Surosowan dan dikenal
oleh rakyatnya sebagai penguasa yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, setelah
ia wafat, rakyatnya memberikan gelar anumerta Pangeran Surosowan Panembahan
Sabakingkin. Julukan ini memiliki makna filosofis bahwa pendiri Keraton
Surosowan adalah Maulana Hasanudin yang sangat bijaksana. Dengan wafatnya
Maulana Hasanudin, rakyat Banten merasakan duka cita yang amat mendalam dan
merindukan adanya kebijaksanaan.
Maulana
Hasanuddin kemudian digantikan oleh Maulana Yusuf, putra pertamanya, sebagai
penguasa Banten kedua yang memerintah tahun 1570-1580. Masa pemerintahannya
lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan,
dan pertanian, di samping melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Dalam
upaya perluasan wilayah, daerah pedalaman kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya
(Pakuan Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu oleh
Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya runtuh. Para ponggawa
yang ditaklukkan lalu diislamkan dan masing-masing dibiarkan memegang
jabatannya semula. Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan datang
dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih memusatkan
perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan pertanian. Proses selanjutnya
adalah ditetapkannya batas wilayah kekuasaan antara Banten dengan Cirebon,
yaitu Sungai Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur
sekarang).
Dengan
demikian, pada masa Maulana Yusuf-lah wilayah Kesultanan Banten membentang dari
pesisir utara sampai ke wilayah pedalaman. Menurut sumber setempat, diceritakan
bahwa pada masa ini, daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Lebak, dikenal
dengan nama daerah Jagat Kidul. Daerah ini masih belum aman karena masih sering
terjadi kekacauan. Untuk mengamankan Jagat Kidul, penguasa Banten memerintahkan
Dalem Jasinga, Rd. Mas Tirta Kusumah, untuk mengamankan daerah selatan ini.
Untuk melaksanakan perintah penguasa Banten itu, Dalem Jasinga pindah dari
Jasinga (Bogor) ke Bayah yang diikuti oleh seluruh perangkat pemerintahannya.
Sementara itu, dengan pindahnya Dalem Jasinga ke Bayah, Jasinga berubah status
hanya menjadi setingkat kademangan. Jadi, menurut sumber lokal ini, cikal-bakal
Kabupaten Lebak itu berasal dari Jasinga dan pertama kali memerintah Jagat
Kidul di daerah Bayah. Saat ini, di daerah Bayah terdapat petilasan yang
diyakini sebagai makam Rd. Mas Tirta Kusumah.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah
meninggalnya Trenggana,
Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai
melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak
dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten
ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya
Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai
bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara,
namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran
Ratu anak dari
Maulana Muhammad, ia menjadi raja
pertama di Pulau
Jawa yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638 dengan
nama Arab Abu al-Mafakhir
Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif
melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu,
salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun
1605 dan tahun 1629 kepada Charles
I.
Puncak
kejayaan
Sepeninggalnya
Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya
sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya,
putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan
dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan
Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang
memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al
Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sultan
Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian
besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina
mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan
daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar
dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh
Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung,
sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain
mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk
memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan
sekitar Batavia. Politik ekspansi ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
dengan tujuan untuk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan
kekuasaan VOC yang dilakukan dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di
Banten. Sultan Ageng Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara
Banten untuk melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi
tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC
mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian damai yang
dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa usul itu ditolak karena selama
VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak akan mendatangkan keuntungan
bagi Banten.
Usaha
Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang
pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat.
Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran),
India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula
dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis,
Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak
kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia
pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan
diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten
menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Dalam
mengembangkan negaranya, Sultan Banten bukan tidak menghadapi kesulitan dan
tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menimbulkan persaingan di kalangan
kelompok-kelompok pedagang yang kadang-kadang merugikan dan menyulitkan Banten.
Orang Belanda termasuk pedagang yang sering mendatangkan kesulitan bagi Banten.
Armada Belanda yang berpangkalan di Batavia beberapa kali melakukan blokade
terhadap pelabuhan Banten untuk memaksakan kehendaknya guna menjalankan
monopoli perdagangan, seperti terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun
berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun antara
pasukan Banten dan VOC di daerah Angke, Tangerang, dan di perairan Banten.
Selain itu, hubungan Banten dengan Mataram pun sering diwarnai oleh ketegangan,
akibat besarnya keinginan Mataram untuk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan
menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu
menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya pada tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu
semua memaksakan Banten harus meningkatkan kekuatan militernya dan sering
mengirimkan kelompok pasukan ke daerah perbatasan dengan Batavia dan Mataram.
Banten
menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Banten membuka pintu kepada
siapa pun yang mau berhubungan baik dan kerja sama dengan Kesultanan Banten.
Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tidak bersahabat, bila mengganggu
kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama
dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar
tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak
terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan
Indrapura dijalin hubungan baik.
Demikian
pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan
Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan
Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik.
Dalam hal ini, Cirebon pernah membantu Banten dengan mengirim pasukan militer
dalam upaya menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu
Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan
pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan Banten dengan
Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara
Banten dengan Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun kadang-kadang
Banten mendesak Cirebon agar memihak kepadanya dan kadang-kadang Mataram
mendesak Cirebon agar berpihak kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten
dalam membebaskan dan mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya
dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke
Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan
Banten masuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini berlangsung sampai tahun 1681,
ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerjasama dengan VOC.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan
mengandalkan perdagangan
dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas
perdagangan lada di
Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara
dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang
penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten
menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris, Denmark
dan
Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan
Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas
contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan
Tanjungpura (sekarang
Kalimantan Barat) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada
masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade
atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang
saudara
Sepeninggalnya
Maulana Yusuf, Kesultanan Banten dilanda konflik perebutan tahta kesultanan.
Dua orang yang memperebutkan tahta Kesultanan Banten adalah Maulana Muhammad
Nasrudin dan Pangeran Jepara. Muhammad Nasrudin merupakan putera dari Maulana
Yusuf dan baru berusia sembilan tahun ketika Maulana Yusuf meninggal dunia.
Oleh karena Maulana Muhammad baru berusia sembilan tahun, Pangeran Jepara
merasa dirinya berhak atas tahta Banten karena ia adik Maulana Yusuf. Untuk
mewujudkan keinginannya itu, Pangeran Jepara berusaha menyerang Banten dengan
mengerahkan pasukannya dari arah laut. Akan tetapi, serangan tersebut menemui
kegagalan dan Pangeran Jepara menghentikan upayanya untuk menduduki tahta
Banten. Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan serangan ini adalah
dukungan penuh kaum ulama kepada Maulana Muhammad Nasrudin untuk menduduki
tahta Banten meskipun usianya belum cukup dewasa. Untuk menjamin kelangsungan
kekuasaannya, segala urusan pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi dan sebagai
penguasa Banten, Maulana Muhammad berada di bawah bimbingan seorang kadi (hakim
agung).
Kegagalan
Pangeran Jepara untuk menduduki tahta Banten berdampak secara politik karena
Banten mulai dapat menegakkan kedudukannya dengan sedikit demi sedikit
membebaskan dari pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa Tengah. Pergolakan serta
pergeseran kekuasaan di Jawa Tengah yakni Demak dapat ditundukkan oleh Pajang
(1581) dan kemudian Pajang oleh Mataram merupakan faktor pendorong kedua
berdaulatnya Kesultanan Banten. Demikianlah, Maulana Muhammad menduduki tahta
Banten menggantikan Maulana Yusuf yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu
Banten Surosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (1580-1596).
Maulana
Muhammad berkehendak untuk mengembangkan perniagaan Kesultanan Banten dengan
cara menguasai rute pelayaran dari dan ke Selat Malaka. Untuk mewujudkan
kehendaknya itu, ia kemudian melakukan upaya untuk mengusai Palembang yang
memang terletak tidak terlalu jauh dari rute pelayaran tersebut. Meskipun
demikian, kehendak mengusai rute pelayaran itu tidaklah murni keinginan
Maulana Muhammad, karena ia pun mendapat pengaruh kuat dari Pangeran Mas yang
berambisi menduduki tahta di Palembang. Untuk menundukan Palembang, Maulana
Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas mengerahkan sekitar
200 kapal perang. Selain itu, Maulana Muhammad pun memerintahkan Lampung,
Seputih, dan Semangka untuk mengerahkan tentaranya melakukan serangan dari
darat. Dalam pertempuran beberapa hari di sekitar Sungai Musi, Maulana Muhammad
tewas dan tidak lama kemudian pasukan Banten kembali ke negaranya tanpa membawa
hasil apapun. Setelah dikebumikan di serambi Masjid Agung Banten, Maulana
Muhammad kemudian dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran
Seda ing Rana.
Sepeninggal
Maulana Muhammad, sejak tahun 1596, tahta Kesultanan Banten diserahkan kepada
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan. Ia merupakan
anak satu-satunya Maulana Muhammad dari pernikahannya dengan Ratu Wanagiri,
putri Mangkubumi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Mangkubumi Jayanagara
ditunjuk sebagai walinya hingga ia meninggal dunia tahun 1602 yang kemudian
digantikan oleh adiknya. Akan tetapi, pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat
karena berkelakuan tidak baik. Untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya
konflik di antara pangeran dan pembesar kerajaan, perwalian atas diri sultan
diserahkan sepenuhnya kepada Nyai Gede Wanagiri. Selain itu, jabatan mangkubumi
pun dihapuskan dari struktur kekuasaan Kesultanan Banten, karena jabatan ini
pun menjadi rebutan di kalangan pangeran dan pembesar kerajaan.
Pada
bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651)
sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten, karena ia dipandang sudah
cukup dewasa. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan oleh Pangeran Arya
Ranamanggala 39 sebagai mangkubumi terakhir Kesultanan Banten. Setelah memegang
tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat
menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Selain itu, Ia pun berhasil menjalin
hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara
Islam. Pada 1636, penguasa Arab di Mekkah memberikan sultan kepada dirinya
sehingga dialah penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul
Mufakhir bersikap tegas terhadap siapapun yang mau memaksakan kehendaknya
kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak
memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Selain
membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa
diwarnai pula dengan konflik antara Banten dengan VOC yang semakin memuncak.
Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untuk secara
bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan
seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang telah
menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan adanya
perjanjian Sultan Ageng Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram dengan
VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan
perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan.
Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan sendiri dengan VOC.
Bersamaan
dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu
Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya
mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan
Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya.
Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W.
Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan
hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya
menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh
ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC
untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan
Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di
London tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
VOC,
yang sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji untuk
mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti
dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon
kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada
di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan
Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus
membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang
menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh
karena dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan
tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681
Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana
Surosowan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari
istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa.
Istama
Surosowan tidak hanya berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi
juga sebagai simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat
situasi politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa Istana Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang telah
menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana
Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan
dari Jacob de Roy.
Mengetahui
bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untuk menghancurkannya. Di bawah pimpinan
Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC
mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat
perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan
militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi,
setelah ada kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten
oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di
bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC
menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan
loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun
demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat yang dibantu
oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di
Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah
komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan
daerah Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang; Kyai Arya Jungpati dengan
jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400
orang mempertahankan daerah Serang; 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah
Jambangan; sebanyak 500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa; dan
sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan
hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga
Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan
Ageng kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat
pertahanannya. Tanara dan Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan
ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka
cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan
akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan.
Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur.
Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan
jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan
VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada
tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang
Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan
pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan
Ageng Tirtayasa
bersama putranya yang lain Pangeran Arya Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makassar berhasil mundur
dan menyelamatkan diri ke arah selatan pedalaman Sunda.
Pihak
VOC berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa dan membujuknya
untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng
Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian
mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14
Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan.
Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan
Ageng Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan
pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf. Pada 5 Mei
1683, VOC mengirim Untung
Suropati yang berpangkat Letnan beserta
pasukan
Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes
Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka
berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran
Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28
Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya
Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran
Purbaya sendiri baru pada 7
Februari 1684 sampai di Batavia. Meskipun
demikian, rakyat Banten masih melakukan perlawanan walaupun semuanya tidaklah
begitu berarti.
Dengan
restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan
ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi
memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah
perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya sebagai berikut.
- Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, dan pasal yang masih dipercayai dan menguntungkan bagi kedua belah pihak akan dipelihara baik-baik tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap sebagai kedua kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya. Tambahan bahwa Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan, demikian pula halnya kepada sahabat VOC dan terutama sunan atau susuhunan atau putera-putera mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melakukan penyerangan atau permusuhan karena ketenangan dan perdamaian di Jawa bagaimanapun harus terlaksana.
- Dan oleh karena penduduk kedua belah pihak harus ada ketenangan dan bebas dari segala macam pembunuhan dan perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan dan pegunungan, maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebaliknya juga bagi orang Jakarta tidak boleh mendatangi daerah dan sungai ataupun anak sungainya yang ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masing-masing diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah, dan kalau tidak maka akan dianggap sebagai musuh yang dapat ditangkap atau dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
- Dan karena harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau telah dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tanggerang akan menjadi milik atau ditempati VOC.
- Dalam hal itu setiap kapal VOC atau kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten dan warganya, jika terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, harus mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barangbarangnya.
- Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan dan kesultanan Banten sebagaimana telah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten dan demikian pula akibat pembunuhan dan perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, dan segala kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada VOC.
- Setelah perjanjian ditandatangani dan disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, jika datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC akan segera ditahan dan kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
- Bahwa karena Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian dan persahabatan ini telah dimengerti oleh kedua belah pihak.
- Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan bahwa VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji, maka menyimpang dari hal itu VOC akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
- Sultan berkewajiban untuk di waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena bertentangan dengan isi perjanjian ini.
- Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya harus menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan dan kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh misi komandan dan Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari atas nama Gubernur Jenderal VOC dan Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal VOC Belanda.
Perjanjian
ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh
Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran
Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh
Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel,
Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus.
Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karena dengan
perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar
negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu,
selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai
simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng
pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan
pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi
Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten
sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada
kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan
rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng
Tirtayasa serta pajak yang tinggi karena sultan harus membayar biaya perang,
tetapi juga karena monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil
pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat
rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, dan Denmark diusir dari
Banten dan pindah ke Bangkahulu, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan
kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak
terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang
ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri,
Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus
dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji
jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya
dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya.
Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya.
Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhoff
turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan
Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata
Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya
kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga
tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di
samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh
karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan
diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin
Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang
menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690
sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh
orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra
keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin
(1733-1747).
Pada
masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi pemberontakan rakyat
yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan.
Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan
daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak
menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India
sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan
usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian
hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara
sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC. Sering terjadi, VOC membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, kain, beras, dan lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara
itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul
Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang
janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan
permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul
Arifin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas
pengaruh Ratu Syarifah Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin
mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang
terdahulu, menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota,
atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan
di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada tahun 1747.
Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah
Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC dan
diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah
dinobatkan sebagai Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan
Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa
atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan
yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri
merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa
diampuni lagi sehingga rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Di bawah
pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang
diterapkan oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang adalah membagi pasukannya menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas
untuk melakukan penyerangan ke Kota Surasowan. Sementara itu, Ki Tapa memimpin
kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya
dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC
dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan
perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten dan menjadikan Sajira
yang terletak di Lebak sebagai salah satu pusat pertahanannya.
Untuk
menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan
wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin
yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke
daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Tidak
lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika,
adik Sultan Zainul Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali
Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. Selain itu, Jacob Mossel pun segera
mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai
putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus
menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan
mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi
sebagai berikut.
- Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
- Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan VOC.
- Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
- Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada VOC saja.
- Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian
itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, dan
pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan
dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus
Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara
itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota.
Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan seranganserangan tersebut.
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang,
mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan
kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan
menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin
(1753-1773).
Penurunan
Keinginan
VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada merupakan sumber konflik antara
Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin menajam, seiring dengan semakin
kuatnya kedudukan VOC di Batavia yang dikuasai mereka sejak 1619. Untuk
mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga
Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan
perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini
mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong
orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC dengan cara menjadi “perompak”
di laut dan “perampok” di darat. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan
ekspedisi ke Tanam, Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali
diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada
bulan Nopember 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani
perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka
tetap tegang.
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar
dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada
VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor
Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia
yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22
Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan
lada di Lampung. Selain
itu berdasarkan perjanjian tanggal
17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang
tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai
mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadl Muhammad
Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa
sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati
dengan gelar Sultan
Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun
ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan
ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa
Banten maupun
gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan
Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad
Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa.
Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC
dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten
telah menjadi vassal dari VOC.
Penghapusan
kesultanan
Perlawanan
rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah
Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC,
perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19,
daerah Banten terus menerus dilanda konflik senjata antara pasukan Banten
dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1808
Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan
Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan
menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan
dibangun di Ujung
Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana
Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan)
dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq
Nainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada
22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa
wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Untuk
mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus
Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan Serang.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh
pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu,
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin
dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh
Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang
mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Sejak
tahun 1813 itu, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
1.
Kabupaten
Banten Lor (Banten Utara), dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
2.
Kabupaten
Banten Kulon (Banten Barat), diperintah oleh Tubagus Hayudin;
3.
Kabupaten
Banten Tengah yang diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
4.
Kabupaten
Banten Kidul (Banten Selatan), diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Menurut
Staatsblad Nederlands Indie No. 81 Tahun 1828 Keresidenan Banten di bagi
menjadi 3 Kabupaten yaitu :
Kabupaten
Utara yaitu Kabupaten Serang;
Kabupaten
Selatan yaitu Kabupaten Lebak;
Kabupaten
Barat yaitu Kabupaten Caringin.
Kabupaten Serang dibagi atas 10 Kewedanaan :
1.
Kewedanaan
Serang dibagi dalam Kecamatan Kalodian dan Cibening;
2.
Kewedanaan
Banten dibagi dalam Kecamatan Banten, Serang, Nejawang;
3.
Kewedanaan
Ciruas dibagi dalam Kecamatan Cilegon, Bojonegoro;
4.
Kewedanaan
Cilegon dibagi dalam Kecamatan Terate, Cilegon, Bojonegoro;
5.
Kewedanaan
Tanara dibagi dalam Kecamatan Tanara dan Pontang;
6.
Kewedanaan
Baros dibagi dalam Kecamatan Regas, Ander, Cicandi;
7.
Kewedanaan
Kolelet dibagi dalam Kecamatan Pandeglang dan Cadasari;
8.
Kewedanaan
Pandeglang dibagi dalam Kecamatan Pandeglang dan Cadasari;
9.
Kewedanaan
Ciomas dibagi dalam Kecamatan Ciomas Barat dan Ciomas Utara;
10.
Kewedanaan
Anyer tidak dibagi dalam Kecamatan-kecamatan;
Selanjutnya memperhatikan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 24 Nopember 1887 Np. 1/c tentang Batas Kota Serang dan Bagian Kota Pandeglang, Caringin dan Lebak Pasal 29, 31, 33, 67c dan 131 Reglement (STBL Van Nederlanch India Tahun 1925 No. 380 LN. 1924 No. 74 Pasal 1) maka ditunjuk Kewedanaan Pandeglang, Menes, Caringin dan Cibaliung.
Kemudian
berdasarkan Surat Menteri Jajahan tanggal 13 dan 20 Nopember 1873 No.
LAA.AZ.No. 34/209 dan 28/2165 menetapkan bahwa :
1.
Jabatan
Kliwon pada Bupati dan Patih dari Afdeling Anyer dan Serang dan Keresidenan
Banten dihapuskan;
2.
Bupati
mempunyai pembantu yaitu Mantri Kabupaten dengan gaji 50 gulden;
3.
Kepala
Distrik mempunyai gelar Jabatan Wedana dan Onder Distrik mempunyai Gelar
Jabatan Asisten Wedana;
Berdasarkan
Staatsblad 1874 No. 73 Ordonansi tanggal 1 Maret 1874, mulai berlaku 1 April
1874.
Agama
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten
dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinanHindu-Budha,
seperti
Tarumanegara, Sriwijaya
dan
Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin,
melakukan penyebaran agama Islam
secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta
penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana
Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda,
yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan
Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan
menempatkan para ulama memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat
maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian
yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan
Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri debus.
Kadi
memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan
Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di
pengadilan agama, juga dalam penegakan hokum
Islam seperti
hudud.
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan
baik. Walau didominasi oleh
muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana
peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah
berdiri beberapa klenteng
pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
Kependudukan
Dalam
membangun Kerajaan Banten, Hasanudin menekankan pada bidang spiritual dan
material. Bidang spiritual ditempuh dengan penyebaran agama Islam yang
dilakukannya dari tahun 1515 hingga 1552. Sementara itu, bidang material
dilakukan dengan memelihara dan mengembangkan kegiatan perniagaan dan pertanian
yang telah ada serta mempertahankan kedudukan dan peranan Banten sebagai kota
pelabuhan. Hal ini dimungkinkan oleh karena Banten telah menjadi pelabuhan
tempat persinggahan saudagar-saudagar yang sedang menempuh jalan niaga Asia
tradisional.
Para
saudagar ini membeli rempah-rempah dari wilayah Indonesia bagian timur untuk
dibawa ke negara-negara di Asia Barat dan Eropa. Dalam melakukan aktivitas
perniagaannya, para saudagar ini menggunakan jalur perairan Nusa Tenggara,
pantai utara Pulau Jawa, Selat Sunda, pantai Barat Sumatera, dan terus ke
India. Jalur niaga ini semakin banyak dipergunakan oleh para saudagar, terutama
saudagar Islam, seiring dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
Oleh karena Portugis menganggap musuh terhadap para saudagar Islam, mereka tidak
mau berlabuh di Malaka. Bahkan lebih dari itu, saudagar saudagar Islam yang
telah menetap di Malaka pun banyak yang pindah ke kota kota pelabuhan lain, di
antaranya ke Banten dan Cirebon. Meskipun Banten dan Cirebon menjadi tempat
menetap para saudagar Islam, namun hanya Banten-lah yang mengalami kemajuan
yang pesat karena kedudukannya lebih strategis dibandingkan dengan Cirebon.
Ketika
Sunan Gunung Jati masih memegang kekuasaan atas Banten, ia bersama-sama dengan
Fatahillah dan Pangeran Hasanudin berhasil merebut pelabuhan terpenting
Kerajaan Sunda, yakni Sunda Kalapa, pada 1527. Keberhasilan ini ditandai dengan
diubahnya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Nilai strategis dari peristiwa
ini adalah pertama, Banten memegang peranan lebih penting dan dapat menarik
perdagangan lada ke pelabuhannya; kedua, Banten telah menggagalkan usaha
Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme yang hendak merealisasikan
perjanjian dengan Raja Sunda.
Selain
menaklukan Sunda Kalapa, beberapa daerah di luar Pulau Jawa yakni Lampung,
Bengkulu, dan Selebar yang berbatasan dengan Sumatera Barat berhasil dimasukkan
juga ke dalam wilayah kekuasaan Banten. Ekspansi ini dilakukan agar Banten
dapat menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi
kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten serta bertujuan untuk memperluas
kebun lada.
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk
yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari
Jawa, Sunda dan Melayu.
Sementara kelompok etnis nusantara
lain dengan jumlah signifikan antara lain Makassar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672,
di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang
siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut
sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang
paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari
sensus yang
dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu
menggunakan tombak
atau senapan
berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk
dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150
000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari
suaka dan
bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta
pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman
sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan
dibandingkan masyarakat India dan Arab.
Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Prancis, Denmark dan Portugal juga
telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten,
selain di bidang perdagangan
untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai
diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan
pedalaman seperti Lebak,
perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan,
sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng
karesian yang
menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap
(penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga
dengan nama peralatanya seperti
kujang, patik,
baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan
pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian.
Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16
000 orang. Di sepanjang kanal tersebut,
antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam.
30 000-an petani
ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makassar. Perkebunan tebu, yang
didatangkan saudagar
Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan
Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678,
Banten telah menjadi kota
metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya
menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri,
penguasanya menggunakan gelar
Sultan,
sementara dalam lingkaran istana
terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati,
Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para
pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih
serta Syahbandar yang
memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan
yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan
golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas
kaum ulama, pamong praja,
serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di
kawasan tersebut dahulunya juga didirikan
pasar, alun-alun
dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara
disebelah utara dari istana dibangun Masjid
Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang
kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat
kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan
Sejarah
Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara
pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan
Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara
keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh
konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala. Selain
itu pada kawasan kota terdapat
beberapa kampung
yang mewakili etnis
tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung
Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas
kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar
yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar
yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
Daftar
penguasa Banten
·
Maulana
Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
·
Maulana
Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
·
Maulana
Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
·
Sultan
Abu al-Mafakir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596
- 1647
·
Sultan
Abu al- Ma’ali Ahmad 1647 - 1651
·
Sultan
Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651 - 1682
·
Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar 1682 - 1687
·
Sultan
Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
·
Sultan
Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
·
Sultan
Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
·
Ratu
Syarifah Fatimah 1747 - 1750
·
Sultan
Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
·
Sultan
Abul Mafakir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
·
Sultan
Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
·
Sultan
Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
·
Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813
Warisan
sejarah
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten
menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah
tersebut menjadi bagian dari
Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan
masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan
otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia
berperan mendorong kawasan Banten sebagai Provinsi tersendiri
yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan
etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada
masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan
masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
Sumber :
Wikipedia
dan berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar