RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO Lahir kurang lebih pada tahun 1780 sebagai anak kedua dari Raden Ngabehi Surotaruno III yang merupakan keturunandari ayah garis keenam dari I.S.K.S. Amangkurat Agung, (Tegal) keturunan dari Pangeran Notobroto I, Ibu garis keempat dari I.S.K.S. Pakubuwono I (Pangeran Puger) dari B.P.H. Puruboyo (Lumajang).
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan di daerah Gagatan dan semenjak masih kecil telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya sebagai contoh pada waktu menginjak usia 8 tahun, Raden Tumenggung Prawirodigdoyo telah bisa menaiki kuda dan hari-demi hari teman-teman sepermainannya semakin sayang dengannya.
GAGATAN
Merupakan dukuh di kaki pegunungan Kendeng terletak ditepi sungai ketoyan (Wonosegoro), sedangkan arti gagatan sendiri ada bermacam-macam yaitu dari kata gagat yang bermakna pagi-pagi benar atau sebelum matahari terbit, tetapi jika dibaca dengan menggunakan aksara jawa maka gagat sendiri adalah berarti kuat sekali yang memiliki makna apabila beradu kekuatan sampai titik darah penghabisan (dilabuhi pecahing dada, wutahing ludira), jika dipisah suku kata gagatan akan menjadi dua kata yang bermakna lain yaitu gaga (padi yang ditanan di ladang) dan ketan (padi ketan).
Di Gagatan jika kita berkunjung kesana maka akan kita jumpai gundukan tanah yang menurut cerita terdapat dua versi yang pertama adalah makam Kyai Berah atau Dinrah (yang berasal dari kata modin dan lurah) yang kediua menurut K.R.M. Mloyosunaryo gundukan tersebut adalah bekas galian tanah tempat bertapa pendem I.S.K.S Pakubuwono VI bersama-sama dengan Raden Tumenggung Prawirodidoyo yang memberikan ilmunya berupa Ajidipa dan membuat sumpah untuk memerangi penjajah Belanda.Penjajahan Belanda kian hari menjadi kian kejam, dan hal ini juga dirasakan didaerah Gagatan, sebelum pecah perang Diponegoro telah banyak persekutuan antara penguasa daerah menentang penjajahan Belanda.
SYEH KALIKO JIPANG
Banyak orang meyakini bahwa guru agama Diponegoro adalah Kyahi Taptajani, ulama besar keturunan Kyahi Nuriman dari pesantren Mlangi.
Yang cukup menarik ialah pernyataan Suwarno Adinoto dalam bukunya Menyingkap Perlawanan T. Prawiro-digdoyo : Sawung Gagatan. Dikatakan bahwa Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro adalah saudara seperguruan Yudo, cucu Ngabehi Prawirosakti dari Gagatan. Mereka sama-sama pernah menjadi murid Syeh Kaliko Jipang, di pondok pesantren Petingan, di sebelah utara Jogyakarta. Usia Ontowiryo waktu itu baru delapan tahun, sedangkan Yudo lima tahun lebih tua. Kalau itu benar, siapakah sebenarnya tokoh Syeh Kaliko Jipang, sehingga dia dipercaya oleh Ratu Ageng untuk mendidik Ontowiryo? Dalam naskah dikatakan bahwa nama aslinya adalah Syeh Kholik, namun oleh Pangeran Mangkubumi namanya diganti menjadi Syekh Kaliko. Karena dia berasal dari Jipang, sehingga nama Jipang melekat pada namanya.
Baik Ngabehi Prawirosakti maupun Syekh Kholik, keduanya merupakan orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi. Ketika Kasultanan Jogyakarta terbentuk, Syekh Kholik diangkat menjadi Penghulu Besar kraton. Setelah pensiun kedudukannya digantikan oleh anak laki-laki satu-satunya, yakni Syeh Rahmanudin. Selanjutnya dia mendirikan pondok pesantren Petingan. RM. Ontowiryo sempat belajar kepadanya selama lima tahun, hingga ulama besar itu wafat di usia 80 tahun. Apabila Diponegoro baru masuk pondok pesantren di usia delapan tahun, berarti dia baru mulai berguru pada Syekh Kaliko Jipang pada tahun 1893. Bila dia sempat berguru selama lima tahun, maka Syekh Kaliko wafat di tahun 1898. Selanjutnya Ratu Ageng mengirim dia ke Pondok Pesantren Mlangi, di bawah asuhan Kyahi Taptajani. Di sini dia juga hanya sempat belajar selama kurang lebih lima tahun, karena pada tahun 1803 Ratu Ageng wafat. Sebagai pewaris tanah lungguh Tegalrejo, dalam usia delapan belas dia harus melanjutkan tugas nenek buyutnya mengatur daerahnya. Tahun 1805 Kyahi Taptajani pindah ke Surakarta, namun agaknya hubungan antara guru dan murid itu terus berlanjut.
KYAHI TAPTAJANI
Kyahi Bagus Taptajani adalah ulama yang dekat dengan bangsawan kraton Surakarta dan Jogyakarta. Dia adalah keturunan Kyahi Mlangi, Kyahi Nur Iman, pemilik tanah perdikan Mlangi. Perdikan Mlangi merupakan salah satu pathok negara kasultanan Jogyakarta, di samping masjid Ploso Kuning, Dongkelan dan Babadan. Kyahi Mlangi adalah putra Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) dari ibu, putri Kyahi Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Menjelang pecah Perang Jawa, Kyahi ini datang menemui Diponegoro di Tegalrejo dan mewartakan mengenai saat munculnya Ratu Adil dan perang sabil.
Kedekatan dengan ulama besar tersebut menjadi jaminan bagi Diponegoro saat dia minta dukungan dari kalangan ulama dan santri kerabat Kyahi Maja dan Badheran, Pulo Kadang, ulama-ulama Pajang, Madiun, Kedu, Bagelen dan Pacitan (Carrey, 1991:6).
YUDO
Menurut silsilah trah gagatan, Yudo adalah putra Raden Surotaruno III, cucu Ngabehi Prawirosakti (Adimenggolo) dari Gagatan, Boyolali. Ibunya, Raden Ayu Surotaruna adalah putri Adipati Notokusumo (Pangeran Juru), patih kerajaan Surakarta yang dibuang Belanda ke Ceylon. Sejak kecil Yudo diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawirosakti. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan Jogyakarta. Dua saudara seperguruan itu ternyata memiliki keistimewaan yang berbeda. Yudo mewarisi pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, sedangkan Diponegoro lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat secara mendalam. Yudo, nantinya menjadi Bupati Pamajegan di Gagatan, bergelar Tumenggung Prawirodigdoyo. Walaupun daerahnya termasuk wilayah Surakarta, namun dia berjuang di pihak Diponegoro hingga gugur dalam peperangan. Jenasah Syekh Kaliko dan Tumenggung Prawirodigdoyo dimakamkan di Blunyah Gedhe, di sebelah utara Jogyakarta (Suwarno Adinoto, 1985:12-14). *****
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan di daerah Gagatan dan semenjak masih kecil telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya sebagai contoh pada waktu menginjak usia 8 tahun, Raden Tumenggung Prawirodigdoyo telah bisa menaiki kuda dan hari-demi hari teman-teman sepermainannya semakin sayang dengannya.
GAGATAN
Merupakan dukuh di kaki pegunungan Kendeng terletak ditepi sungai ketoyan (Wonosegoro), sedangkan arti gagatan sendiri ada bermacam-macam yaitu dari kata gagat yang bermakna pagi-pagi benar atau sebelum matahari terbit, tetapi jika dibaca dengan menggunakan aksara jawa maka gagat sendiri adalah berarti kuat sekali yang memiliki makna apabila beradu kekuatan sampai titik darah penghabisan (dilabuhi pecahing dada, wutahing ludira), jika dipisah suku kata gagatan akan menjadi dua kata yang bermakna lain yaitu gaga (padi yang ditanan di ladang) dan ketan (padi ketan).
Di Gagatan jika kita berkunjung kesana maka akan kita jumpai gundukan tanah yang menurut cerita terdapat dua versi yang pertama adalah makam Kyai Berah atau Dinrah (yang berasal dari kata modin dan lurah) yang kediua menurut K.R.M. Mloyosunaryo gundukan tersebut adalah bekas galian tanah tempat bertapa pendem I.S.K.S Pakubuwono VI bersama-sama dengan Raden Tumenggung Prawirodidoyo yang memberikan ilmunya berupa Ajidipa dan membuat sumpah untuk memerangi penjajah Belanda.Penjajahan Belanda kian hari menjadi kian kejam, dan hal ini juga dirasakan didaerah Gagatan, sebelum pecah perang Diponegoro telah banyak persekutuan antara penguasa daerah menentang penjajahan Belanda.
SYEH KALIKO JIPANG
Banyak orang meyakini bahwa guru agama Diponegoro adalah Kyahi Taptajani, ulama besar keturunan Kyahi Nuriman dari pesantren Mlangi.
Yang cukup menarik ialah pernyataan Suwarno Adinoto dalam bukunya Menyingkap Perlawanan T. Prawiro-digdoyo : Sawung Gagatan. Dikatakan bahwa Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro adalah saudara seperguruan Yudo, cucu Ngabehi Prawirosakti dari Gagatan. Mereka sama-sama pernah menjadi murid Syeh Kaliko Jipang, di pondok pesantren Petingan, di sebelah utara Jogyakarta. Usia Ontowiryo waktu itu baru delapan tahun, sedangkan Yudo lima tahun lebih tua. Kalau itu benar, siapakah sebenarnya tokoh Syeh Kaliko Jipang, sehingga dia dipercaya oleh Ratu Ageng untuk mendidik Ontowiryo? Dalam naskah dikatakan bahwa nama aslinya adalah Syeh Kholik, namun oleh Pangeran Mangkubumi namanya diganti menjadi Syekh Kaliko. Karena dia berasal dari Jipang, sehingga nama Jipang melekat pada namanya.
Baik Ngabehi Prawirosakti maupun Syekh Kholik, keduanya merupakan orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi. Ketika Kasultanan Jogyakarta terbentuk, Syekh Kholik diangkat menjadi Penghulu Besar kraton. Setelah pensiun kedudukannya digantikan oleh anak laki-laki satu-satunya, yakni Syeh Rahmanudin. Selanjutnya dia mendirikan pondok pesantren Petingan. RM. Ontowiryo sempat belajar kepadanya selama lima tahun, hingga ulama besar itu wafat di usia 80 tahun. Apabila Diponegoro baru masuk pondok pesantren di usia delapan tahun, berarti dia baru mulai berguru pada Syekh Kaliko Jipang pada tahun 1893. Bila dia sempat berguru selama lima tahun, maka Syekh Kaliko wafat di tahun 1898. Selanjutnya Ratu Ageng mengirim dia ke Pondok Pesantren Mlangi, di bawah asuhan Kyahi Taptajani. Di sini dia juga hanya sempat belajar selama kurang lebih lima tahun, karena pada tahun 1803 Ratu Ageng wafat. Sebagai pewaris tanah lungguh Tegalrejo, dalam usia delapan belas dia harus melanjutkan tugas nenek buyutnya mengatur daerahnya. Tahun 1805 Kyahi Taptajani pindah ke Surakarta, namun agaknya hubungan antara guru dan murid itu terus berlanjut.
KYAHI TAPTAJANI
Kyahi Bagus Taptajani adalah ulama yang dekat dengan bangsawan kraton Surakarta dan Jogyakarta. Dia adalah keturunan Kyahi Mlangi, Kyahi Nur Iman, pemilik tanah perdikan Mlangi. Perdikan Mlangi merupakan salah satu pathok negara kasultanan Jogyakarta, di samping masjid Ploso Kuning, Dongkelan dan Babadan. Kyahi Mlangi adalah putra Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) dari ibu, putri Kyahi Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Menjelang pecah Perang Jawa, Kyahi ini datang menemui Diponegoro di Tegalrejo dan mewartakan mengenai saat munculnya Ratu Adil dan perang sabil.
Kedekatan dengan ulama besar tersebut menjadi jaminan bagi Diponegoro saat dia minta dukungan dari kalangan ulama dan santri kerabat Kyahi Maja dan Badheran, Pulo Kadang, ulama-ulama Pajang, Madiun, Kedu, Bagelen dan Pacitan (Carrey, 1991:6).
YUDO
Menurut silsilah trah gagatan, Yudo adalah putra Raden Surotaruno III, cucu Ngabehi Prawirosakti (Adimenggolo) dari Gagatan, Boyolali. Ibunya, Raden Ayu Surotaruna adalah putri Adipati Notokusumo (Pangeran Juru), patih kerajaan Surakarta yang dibuang Belanda ke Ceylon. Sejak kecil Yudo diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawirosakti. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan Jogyakarta. Dua saudara seperguruan itu ternyata memiliki keistimewaan yang berbeda. Yudo mewarisi pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, sedangkan Diponegoro lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat secara mendalam. Yudo, nantinya menjadi Bupati Pamajegan di Gagatan, bergelar Tumenggung Prawirodigdoyo. Walaupun daerahnya termasuk wilayah Surakarta, namun dia berjuang di pihak Diponegoro hingga gugur dalam peperangan. Jenasah Syekh Kaliko dan Tumenggung Prawirodigdoyo dimakamkan di Blunyah Gedhe, di sebelah utara Jogyakarta (Suwarno Adinoto, 1985:12-14). *****
Terimakasih ulasannya, sangat bermanfaat buat kami keturunan Gagatan.
BalasHapusTerimakasih Ulasan nya, sesikit sekali ulasan tentan Trah Gagatan, semoga kita bisa lebih mengenal saudara kita yg terpisah, RAHAYU..
BalasHapussawung rono apakah sama dengan prawirodigdoyo
BalasHapusTerimakasih..seneng baca sejarah..di silsilah kelrg kami pohon nya bawah kanjeng susuhunan prabu Mangkurat jawa ing kartasura ada nama RM Taptajani juga..apakah sama atau tidak ya?
BalasHapussaya Djoko Soedjono,SE sekeluarga, sangat bangga dan berjiwa besar, ternyata Eyang saya Tumenggung Prawirodigdoyo yang juga masih cucu Kanjeng Amangkurat Tegalarum, berjuang bersama P.Diponegoro melawan penjajah Belanda sampe titik darah penghabisan. Kami adalah keluarga trah Gagatan keturunan garis ke sembilan, siap melanjutkan perjuangan Eyang2 kita.
BalasHapusTolong email saya di rahmadirespati@gmail.com, sya juga keluarga gagatan
Hapusjangan lupakan perjuangan eyang, buyut, dan tolong email saya di ptharjuna@gmail.come, karena saya juga keluarga Gagatan.
BalasHapusPujangga yg luar biasa..
BalasHapusAssalamualaikum Wr Wb. Sy B.Darmawan, tengah mengumpulkan sajarah Blunyah Gede, kampung kami. Syukur jika bisa saling berbagi informasi. Sy masih tinggal di Blunyah Gede. Salam
BalasHapusWa'alaikumussalam
HapusMohon maaf saya nimbrung pak.
Apa bapak juga trah dari krt prawiro digdoyo?
Sebab saya akhir2 ini sering ziaroh ke sana.
BalasHapusApabila Diponegoro baru masuk pondok pesantren di usia delapan tahun, berarti dia baru mulai *berguru pada Syekh Kaliko Jipang pada tahun 1893*. Alinea ini belum sy pahami. Perang Diponegoro berlangsung 1825 - 1830. Tetapi catatan ttg beliau berguru kpd syekh kaliko jipang, kok dimulai 1893 ? (63 th setelah perang ?). Bagaimana penjelasannya?
Bukan th 1893 tapi thn 1793 ... ber
HapusAsalamualaikum para mbah eyang saya adalah turnan dari trahbgagatan ygbselamaini tidak tau harus kemana penelusuran silsilah yg ada sama saya saja yg ada peninggalan bapak mohon arahan nya tksh
BalasHapus