detiknews, bbcnews, cnn

Kamis, 22 April 2010

Menelusuri KRT. Prawirodigdoyo (I)

Setyaka Atmaja Setelah tumbuh dewasa, Raden Mas Ontowiryo yang kemudian bergelar Pangeran Diponegoro makin kecewa melihat pembesar-pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan. Pangeran Diponegoro menganggap semua itu sebagai merosotnya martabat kerajaan dan wibawa Sultan. Suasana makin bertambah parah dengan kebiasaan baru kerabat keraton yang suka minum-minuman keras. Sementara Pangeran Diponegoro sudah tegak (bersikap luhur) menyerahkan gelar mahkotanya kepada adiknya yang masih kecil, Sultan Hamengku Buwono IV. Pangeran Diponegoro kemudian lebih banyak mengasingkan diri di tempat-tempat sepi, seperti di gua-gua di pantai selatan. Di tempat seperti inilah ia menemukan ketenangan batin. Meski demikian, ia merasa harus mengembalikan martabat Mataram dan membebaskan rakyat dari ketidak adilan dan kesengsaraan. Tak ada jalan lain, kecuali dengan harus mengusir penjajah.

Rabu, 21 April 2010

KARTINI... BUKAN SEKEDAR WANITA DAN “EMANSIPASI”NYA


Kodrat
Wanita itu, secara kodrati tidaklah sama dengan pria, dikarenakan Tuhan YME telah menciptakan wanita dan pria dengan kewajiban biologis yang berbeda. Meski dipaksakan sekalipun, kaum pria mustahil melakukan kodrati biologis wanita, seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung, melahirkan, sampai menyusui).
Mempersoalkan persamaan hak jender, berikut derajat antara wanita dengan pria, adalah kekeliruan yang merugikan, apabila mengabaikan aspek kodrati tersebut. Sedangkan, kodrat wanita lainnya yang sudah dipersepsikan sejak lama, yaitu menikah, mengurus keperluan suami, melahirkan anak, merawat dan menjaganya hingga dewasa. Meskipun dalam hal ini sering diartikan sebagai kebahagiaan alamiah, namun di lain pihak diartikan pula sebagai bentuk pengekangan yang mengakibatkan wanita tidak bisa bebas bergerak, terlebih menentukan nasibnya sendiri.

OUTPUT VALUE BERBANGSA DAN BERNEGARA


Kepekaan yang kritis
Dalam konteks berbangsa dan bernegara seseorang dituntut memiliki kepekaan. Kepekaan inilah yang terkadang mengansumsikan seseorang untuk berpersepsi atas situasi dan kondisi bangsa dan negaranya. Terlebih disaat sekarang, kepekaan seseorang yang sebenarnya bisa kita harapkan menjadi sebuah kesadaran kolektif untuk hidup berbangsa dan bernegara, namun seringkali disalah artikan sebagai kritik atas ketidak puasan, baik secara individu maupun publik, dan terlampau disayangkan pula apabila ketidak puasan tersebut sampai “tertunggangi” oleh kepentingan-kepentingan ekonomis, politis atau pun ideologis.